Jumat, 27 Juni 2025

POV Community Sukses Gelar Workshop Eco-Anxiety & Penyembuhan Ekologis

 


Sabtu, 21 Juni 2025 – Dalam Rangka Hari Lingkungan Hidup Sedunia

Dalam rangka memperingati Hari Lingkungan Hidup Sedunia, POV Community menyelenggarakan workshop reflektif bertajuk “Eco-Anxiety dan Penyembuhan Komunal” pada Sabtu, 21 Juni 2025. Kegiatan ini dirancang sebagai ruang aman dan inklusif bagi anak muda, komunitas akar rumput, serta warga yang terdampak krisis ekologi untuk memahami tekanan emosional akibat krisis iklim, serta menjelajahi beragam pendekatan penyembuhan kolektif yang kontekstual dan transformatif.

Workshop ini lahir dari kebutuhan mendesak untuk menangani dampak psiko-sosial dari krisis lingkungan, khususnya di tengah arus informasi yang deras tentang bencana alam, degradasi lingkungan, kehilangan ruang hidup, dan ancaman iklim ekstrem yang memicu kecemasan luas namun jarang dibicarakan secara terbuka.

Materi I: Memahami Eco-Anxiety dan Eco-Grief
Pemateri: Stephanus Benny Pudyastanto, M.Psi., Psikolog

Memasuki sesi materi pertama, Stephanus Benny Pudyastanto, M.Psi., Psikolog, membedah fenomena eco-anxiety, yaitu kecemasan kronis terhadap kerusakan lingkungan yang belum terjadi. Dikenali oleh American Psychiatric Association sejak 2017 sebagai chronic fear of environmental doom, eco-anxiety kerap dialami oleh individu yang sadar akan krisis iklim namun belum memiliki ruang aman untuk memproses tekanan tersebut.

Gejalanya antara lain meliputi pikiran obsesif terhadap bencana ekologi, gangguan tidur, rasa bersalah yang berlebihan, hingga perasaan tidak berdaya yang dapat mengganggu kehidupan sehari-hari.
Benny kemudian menjelaskan perbedaan antara eco-anxiety dan eco-grief, yaitu perasaan duka mendalam akibat kehilangan ekologis yang nyata, seperti punahnya spesies, hancurnya lanskap alam, atau rusaknya wilayah adat. Kedua kondisi ini, menurutnya, adalah respon wajar terhadap kerusakan sistemik dan perlu dihadapi dengan penuh empati serta kesadaran kolektif.

Peserta diajak melakukan refleksi untuk membedakan antara hal-hal yang bisa dikendalikan dan yang tidak. Prinsip ini menjadi fondasi untuk membangun ketahanan emosional di tengah keterbatasan. Langkah konkret yang disarankan meliputi membatasi paparan informasi menekan, mengambil aksi nyata sekecil apa pun, membangun komunitas yang mendukung, mempraktikkan perawatan diri, serta mencari bantuan profesional bila dibutuhkan.

Pesan utamanya adalah bahwa menyembuhkan diri bukanlah bentuk pelarian, tetapi justru kekuatan untuk menghadapi ketidakpastian secara utuh dan penuh kesadaran.

Materi II: Dari Krisis Sistemik ke Aksi Komunal
Pemateri: Isma Hanifa Ma’ruf, YPBB Indonesia

Dalam sesi berikutnya, Isma Hanifa Ma’ruf dari YPBB Indonesia menyampaikan bahwa krisis lingkungan tidak hanya bersumber dari perilaku individu, melainkan hasil dari sistem ekonomi yang eksploitatif dan linear. Sistem produksi saat ini berjalan dalam siklus ekstraksi, produksi, distribusi, konsumsi, hingga pembuangan tanpa tanggung jawab ekologis, menciptakan tekanan besar pada daya dukung bumi.

Isma menekankan bahwa gaya hidup berlebihan atau overkonsumsi menjadi pemicu utama kerusakan lingkungan. Konsumsi digital seperti penyimpanan data, penggunaan gawai secara terus-menerus, hingga sistem penerangan kota yang tidak efisien memiliki kontribusi nyata terhadap emisi karbon. Kebiasaan kecil seperti menghapus email tidak perlu, mengaktifkan flight mode, atau menggunakan lampu hemat energi dapat menjadi bagian dari aksi kolektif mengurangi jejak karbon.

Dalam konteks energi, peserta dikenalkan pada konsep konservasi dan efisiensi. Konservasi energi menekankan pada perubahan perilaku untuk mengurangi penggunaan daya, sementara efisiensi berfokus pada pemanfaatan teknologi hemat energi. Keduanya, menurut Isma, harus dijalankan bersamaan sebagai bentuk transisi menuju keberlanjutan.

Topik limbah juga menjadi sorotan penting. Sampah organik yang dibuang ke TPA menghasilkan metana (CH₄), gas rumah kaca yang 25 kali lebih kuat dari CO₂. Sayangnya, banyak TPA di Indonesia tidak memiliki sistem penangkapan gas ini. Sementara itu, solusi seperti insinerator justru menimbulkan polusi tambahan seperti dioksin.

Isma menegaskan bahwa solusi berkelanjutan bukan terletak pada pembakaran, tetapi pada pengurangan sampah dari sumber, pengomposan skala rumah atau komunitas, serta pengelolaan berbasis partisipasi warga. Konsep zero waste diposisikan sebagai jalan tengah antara perawatan bumi dan pemulihan sosial.

Sesi Relaksasi: Hipnoterapi dan Teknik Pemulihan Diri

Untuk mendukung proses penyembuhan, peserta diajak mengikuti sesi pengantar hipnoterapi ringan yang dipandu oleh Psikolog Benny. Sesi ini bertujuan memperkenalkan teknik relaksasi, pernapasan sadar, dan pemulihan psikofisik yang sederhana.

Peserta diberi kebebasan untuk memilih berpartisipasi aktif atau hanya menyimak, dengan penekanan bahwa sesi ini bukan layanan profesional intensif, melainkan alat bantu untuk menurunkan ketegangan mental akibat stres iklim.

Testimoni Peserta: Suara dari Ruang Pemulihan

Workshop ini juga meninggalkan kesan mendalam bagi para peserta. Yoseph Adi Nugroho, salah satu peserta, membagikan pengalamannya:

“Ada sesi sharing di break-out room yang membuat kami saling mengenal dan bercerita pengalaman masing-masing, ditambah dengan materi dari Kak Benny dan Kak Isma yang membuka wawasan saya. Workshop ini membuat saya ingin terlibat lebih jauh dan bergerak bersama teman-teman komunitas. Saya sadar bahwa perubahan harus dimulai dari diri sendiri agar bisa mengajak lebih banyak orang peduli pada lingkungan—karena siapa lagi kalau bukan kita, demi masa depan anak cucu generasi yang akan datang.”

Peserta lain juga menyoroti sesi ketiga sebagai momen yang sangat berkesan:

“Yang paling berkesan bagi saya adalah sesi ketiga, di mana kami diajak mengontrol diri melalui arahan dan beberapa tahapan. Rasanya seperti dituntun untuk benar-benar hadir di dalam diri sendiri—tenang, sadar, dan pulih.”

Testimoni-testimoni ini menunjukkan bahwa workshop tidak hanya menjadi ruang belajar, tetapi juga ruang pulang—tempat di mana anak muda bisa merasa dilihat, didengar, dan dikuatkan dalam menghadapi tantangan krisis iklim secara bersama-sama.


Penutup dan Rekomendasi POV Community

Workshop ditutup dengan sesi reflektif dalam kelompok kecil, di mana peserta saling berbagi pengalaman, harapan, dan ketakutan. Melalui jejaring solidaritas dan afirmasi kolektif, peserta menyadari bahwa penyembuhan personal dan penyembuhan bumi adalah proses yang saling terhubung.

“Penyembuhan tidak bisa dilakukan sendirian. Di tengah rasa takut dan kelelahan, komunitas adalah tempat pulang sekaligus kekuatan perubahan.” — ujar Lucia Damanik selaku Founder POV Community

Rekomendasi POV Community:
- Jadikan perawatan diri sebagai bagian dari aktivisme lingkungan.
- Bangun komunitas berbasis kepercayaan dan pembelajaran bersama.
- Dorong transisi energi dan pengelolaan limbah berbasis lokal.
- Tonton film dokumenter “The Story of Stuff” untuk memperdalam pemahaman tentang sistem produksi global dan pentingnya perubahan struktural.

Tentang POV Community

POV Community adalah ruang aman yang dipimpin oleh perempuan muda untuk mendukung pembelajaran kritis, perawatan diri, dan aksi kolektif lintas komunitas. Kami mengangkat suara-suara yang terpinggirkan dalam isu lingkungan dan kesehatan mental, serta mempromosikan keberlanjutan yang kontekstual dan berkeadilan sosial.

Kontak dan Kolaborasi:
Instagram: @pov.project.id
 



Postingan Terkait

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Formulir Kontak

Nama

Email *

Pesan *